Senin, 26 Juli 2010

hati2 membicarakan orang lain

Membicarakan aib orang lain atau ghibah telah Allah haramkan secara
jelas dan tegas di dalam kitab-Nya dan melalui lisan rasul-Nya. Allah
subhanahu wata'ala berfirman, artinya,
"Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati.
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya." (QS. al-Hujurat:12)

Penjelasan tentang hakikat ghibah telah disebutkan di dalam hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu yaitu,
"Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang dia tidak suka
(untuk diungkapkan)." (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga telah mengharamkan
kehormatan seorang mukmin dan mengaitkannya dengan hari Arafah, bulan haram,
dan tanah haram. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar
radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah
haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan
kalian ini, dan di negri kalian ini. Ingat! Bukankah aku telah
menyampaikan?" (HR Muslim).

Bahkan dalam hadits yang lain disebutkan dengan sangat tegas bahwa
membicarakan aib dan kehormatan seorang mukmin itu lebih parah dibandingkan
dengan seseorang yang menikahi ibunya sendiri. Diriwayatkan dari
al-Barra' bin Azib radhiyallahu 'anhu dia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,
"Riba itu mempunyai tujuh puluh dua pintu, yang paling rendah seperti
seseorang yang menikahi ibunya. Dan riba yang paling besar yakni
seseorang yang berlama-lama membicarakan kehormatan saudaranya." (Silsilah
ash-Shahihah no. 1871)

Di dalam sebuah potongan hadist, riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu
'anhu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak
terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah subhanahu wata'ala akan
mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri
dari ucapannya (melakukan sesuatu yang dapat membebaskannya)." (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan al-Hakim, disetujui oleh adz-Dzahabi, lihat Silsilah
ash-Shahihah no. 437)

Diriwayatkan dari Abdur Rahman bin Ghanam radhiyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda,
"Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang jika dilihat (menjadi
perhatian) disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang
yang berjalan dengan mengadu domba, memecah belah antara orang-orang
yang saling cinta, dan senang untuk membuat susah orang-orang yang baik."
(HR. Ahmad 4/227, periksa juga kitab "Hashaid al-Alsun" hal. 68)

Diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Wahai sekalian orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun
iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian semua menyakiti
sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah kalian
semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang
mencari-cari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan
mengintai kekurangannya, dan siapa yang diintai oleh Allah kekurangannya maka
pasti Allah ungkapkan, meskipun dia berada di dalam rumahnya." (HR.
at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi
2/200)

Para salaf adalah orang yang sangat menjauhi ghibah dan takut jika
terjerumus melakukan hal itu. Di antaranya adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, dia berkata, "Aku mendengar Abu 'Ashim
berkata, "Semenjak aku ketahui bahwa ghibah adalah haram, maka aku tidak
berani menggunjing orang sama sekali." (at-Tarikh al-Kabir (4/336)

Al-Imam al-Bukhari mengatakan, "Aku berharap untuk bertemu dengan Allah
subhanahu wata'ala dan Dia tidak menghisab saya sebagai seorang yang
telah berbuat ghibah terhadap orang lain."

Imam Adz-Dzahabi berkomentar, "Benarlah apa yang beliau katakan, siapa
yang melihat ucapan beliau di dalam jarh dan ta'dil (menyatakan cacat
dan jujurnya seorang perawi) maka akan tahu kehati-hatian beliau di
dalam membicarakan orang lain, dan sikap inshaf (obyektif) beliau di dalam
mendhaifkan/melemahkan seseorang.

Lebih lanjut beliau (adz-Dzahabi) mengatakan, "Apabila aku (Imam
al-Bukhari) berkata si Fulan dalam haditsnya ada catatan, dan dia diduga
seorang yang lemah hafalannya, maka inilah yang dimaksudkan dengan ucapan
beliau "Semoga Allah subhanahu wata'ala tidak menghisab saya sebagai
orang yang melakukan ghibah terhadap orang lain." Dan ini merupakan salah
satu dari puncak sikap wara'. (Siyar A'lam an -Nubala' 12/439)

Beliau juga mengatakan, "Aku tidak menggunjing seseorang sama sekali
semenjak aku ketahui bahwa ghibah itu berbahaya bagi pelakunya." (Siyar
a'lam an-Nubala' 12/441)

Para salaf apabila terlanjur menggunjing orang lain, maka mereka
langsung melakukan introspeksi diri. Ibnu Wahab pernah berkata, "Aku
bernadzar apabila suatu ketika menggunjing seseorang maka aku akan berpuasa
satu hari. Aku pun berusaha keras untuk menahan diri, tetapi suatu ketika
aku menggunjing, maka aku pun berpuasa. Maka aku berniat apabila
menggunjing seseorang, aku akan bersedekah dengan satu dirham dan karena
sayang terhadap dirham, maka aku pun meninggalkan ghibah."

Berkata imam adz-Dzahabi, "Demikianlah kondisi para ulama, dan itu
merupakan buah dari ilmu yang bermanfaat." (Siyar: 9/228)

Bahkan seorang yang melakukan ghibah pada hakikatnya sedang memberikan
kebaikannya kepada orang lain yang dia gunjing. Bahkan Abdur Rahman bin
Mahdi berkata, "Andaikan aku tidak benci karena bermaksiat kepada Allah
subhanahu wata'ala, maka tentu aku berharap tidak ada seorang pun di
Mesir, ini kecuali aku menggunjingnya, yakni karena dengan itu seseorang
akan mendapatkan kebaikan di dalam catatan amalnya, padahal dia tidak
melakukan sesuatu." (Siyar: 9/195)

Maka para aktivis dakwah di masa ini yang melakukan ghibah atau
membicarakan aib saudaranya sesama muslim dengan alasan untuk meluruskan
kesalahan dan demi kebaikan, alangkah baiknya sebelum membicarakan orang
lain merenung kan beberapa masalah berikut:

Pertama; Apakah yang dia lakukan itu adalah ikhlas dan merupakan
nasihat untuk Allah subhanahu wata'ala, Rasul-Nya shallallahu 'alaihi
wasallam dan kaum muslimin? Ataukah merupakan dorongan hawa nafsu baik
tersembunyi atau terang-terangan? Atukah itu merupakan hasad dan kebencian
terhadap orang yang dia gunjing?

Memperjelas apa latar belakang yang mendorong untuk membicarakan orang
lain sangatlah penting. Sebab berapa banyak orang yang terjerumus ke
dalam ghibah dan menggunjing orang lain karena dorongan nafsu tercela
sebagaimana tersebut di atas. Lalu dia menyangka bahwa yang mendorong
dirinya untuk menggunjing adalah karena menyampaikan nasehat dan
menginginkan kebaikan.

Ini merupakan ketergelinciran jiwa yang sangat pelik, yang tidak
diketahui oleh kebanyakan manusia, kecuali setelah merenung dan berpikir
mendalam penuh rasa ikhlas dan murni karena Allah subhanahu wata'ala.

Ke dua; Harus dilihat dulu bentuk masalahnya ketika membicarakan aib
seseorang, apakah merupakan hal-hal yang di situ memang dibolehkan untuk
ghibah ataukah tidak?

Ke tiga; Renungkan berkali-kali sebelum mengeluarkan kata-kata untuk
membicarakan orang lain; Apa jawaban yang saya sampaikan nanti di hadapan
Allah subhanahu wata'ala pada hari Kiamat jika Dia bertanya, "Wahai
hamba-Ku si Fulan, mengapa engkau membicarakan si Fulan dengan ini dan
ini?"

Hendaknya selalu ingat bahwa Allah subhanahu wata'ala telah berfirman,
"Dan ketahuilah bahwasannya Allah mengetahi apa yang ada dalam hatimu;
maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun." (QS. Al-Baqarah: 235)

Dan Ibnu Daqiq al-Ied juga telah berkata, "Kehormatan manusia merupakan
salah satu jurang dari jurang jurang neraka yang para ahli hadits dan
ahli hukum diam apabila telah berhadapan dengannya. (Thabaqat asy
Syafi'iyyah al Kubra 2/18). Wallahu a'lam.
Sumber: "Manhaj Ahlussunnah fi an-Naqdi wal Hukmi 'alal Akharin, hal
17-20, Hisyam bin Ismail ash-Shiini.

Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah Ta'ala, Menyampaikan Kebenaran
adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah
adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang
belum mengetahuinya.
Semoga Allah Ta'ala Membalas 'Amal Ibadah Kita. Aamiin

Waassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar